01 Desember 2015

Polemik Peristiwa Hubungan Perdata Jadi Kasus Tindak Pidana

Polemik hukum awalnya sebuah hubungan perdata berakhir menjadi tindak pidana, semakin ramai menghiasi wajah dunia hukum di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, awalnya adalah merupakan kasus tindak pidana kemudian dapat berakhir menjadi kasus sengketa perdata.

Para punggawa penegak hukum (Advokat / Pengacara / Lawyer, Polisi, Jaksa Dan Hakim), juga memberikan pandangan yang berbeda terhadap fenomena semakin banyaknya kasus (sengketa) perdata menjadi kasus tindak pidana tersebut. Tidak terkecuali para akademis di bidang hukumpun juga memberikan pendapat hukum yang beragam pula.
Kasus Perkara Hubungan Perdata Bisa Berubah Menjadi Kasus Tindak Pidana Penipuan Dan Penggelapan
Menurut kami, sebenarnya, tidak ada kasus (sengketa) perdata berubah menjadi kasus tindak pidana, namun yang benar adalah didalam peristiwa (kejadian) hukum yang dilakukan para subjek hukum secara keperdataan,  secara bersamaan pula kejadian atau peristiwa hukum itu juga mengandung unsur-unsur pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPerdata).

Contoh peristiwa atau kejadian hukum yang dilakukan secara perdata yang juga mengandung unsur-unsur pidana bila ada perbuatan yang dilanggar oleh para pihak adalah perbuatan atau peristiwa hukum dalam hal melakukan hukum perjanjian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu dapat dikatakan sah jika memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
1.  Adanya kesepakatan pengikatan diri;
2. Kecakapan para pihak yang membuat suatu perikatan;
3. Adanya sesuatu pokok persoalan tertentu;
4. Adanya suatu sebab yang tidak dilarang;

Secara teori hukum, suatu hubungan dalam perjanjian adalah suatu hubungan keperdataan yang mengikat antara debitur dengan kreditur, yaitu debitur mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, berupa:
1. Menyerahkan suatu barang tertentu;
2. Melakukan suatu perbuatan tertentu;
3. Tidak melakukan suatu perbuatan tertentu;

Nah, apabila debitur tidak mampu memenuhi prestasi sebagaimana yang dijelaskan diatas, maka hal tersebut disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi terjadi bila :
1. Debitur melakukan hal yang seharusnya tidak boleh dilakukannya;
2. Debitur terlambat memenuhi kewajiban sebagaimana yang telah diperjanjikan;
3. Debitur melakukan kewajiban, namun masih kurang atau sebagian dari seluruh kewajiban yang telah diperjanjikan;
4. Debitur sama sekali tidak memenuhi kewajiban;

Menurut pendapat para ahli hukum atau pakar hukum, bahwa suatu perbuatan dianggap telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi hukum pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu:
1. adanya unsur actus reus (physical element);
2. dan unsur mens rea (mental element);

Mens Rea adalah merupakan sikap batin dari para pelaku perbuatan tindak pidana. Berbeda dengan Actus Reus yang menyangkut perbuatan yang melawan hukum (unlawful act), mens rea mencakup unsur-unsur pembuat tindak pidana yaitu sikap batin yang disebut unsur subyektif suatu tindak pidana atau keadaan psikis pembuat (Utrecht, 1960: 257 ).

Bahwa dalam perbuatan tindak pidana, faktor adanya kesengajaan yang dilakukan seseorang adalah merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti). Dalam konteks ini, perlu kiranya kita memahami apa-apa saja yang dapat dikategorikan jenis-jenis kesengajaan, yakni:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk); maksud kesengajaan disini adalah untuk mencapai suatu tujuan, dengan artian antara motivasi seseorang yang melakukan perbuatan, tindakan dan akibatnya benar-benar terwujud. Motivasi seseorang sangat memperngaruhi perbuatanya (affectio tua nomen imponit operi tuo)
2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids of zekerheidsbewustzijn), maksudnya adalah kesengajaan yang mengakibatkan dua akibat, yaitu:
a. akibat pertama adalah pasti dikehendaki oleh pelaku;
b. akibat kedua adalah yang tidak dikehendaki namun pasti terjadi;
3. Kesengajaan sebagai suatu kemungkinan, maksudnya adalah bahwa suatu kesengajaan yang mungkin menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi namun merupakan suatu kemungkinan yang bisa terjadi. 

Menurut Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H, M.H, seorang Guru Besar Hukum Pidana UGM corak kesengajaan sebagai kemungkinan dalam perkembangannya mengalami derivat atau keturunan, yakni:
1. Dolus Antecedens. Dolus Antecedens adalah diartikan sebagai kesengajaan yang ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan dilakukan.
2. Dolus Subsequens. Dolus Subsequens adalah diartikan kesengajaan terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi.
Advokat/Pengacara/Lawyer/Konsultan Hukum Anggota Organisasi Advokat Peradi NIA.: 98.10796
Sekarang kita akan telaah hubungan peristiwa perdata yang peristiwanya termaktub mengandung unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

1. Peristiwa hubungan perdata yang masuk kategori unsur tindak pidana penggelapan
Pasal 372 KUHPidana berbunyi : "Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratur rupiah".

Contoh kasus:
Misalnya pada bulan Desember 2014 Amier berhutang uang sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada Badier. Lalu kemudian Amier berjanji akan mencicil hutang tersebut selama 4 (empat) bulan dengan membayar  25 juta untuk setiap bulannya. Selanjutnya pada bulan Januari 2015, Pebruari 2015, dan Maret 2015, Amier lancar-lancar mencicil. Kemudian pada bulan April 2015, Amier tidak membayar hutangnya, bukan karena tidak memiliki uang, namun karena Amier memiliki itikad jahat untuk tidak membayarkannya sehingga dia berpikir akan mendapat keuntungan.

Dalam kasus diatas, kejadian ini masuk dalam katogei dolus subsequens, oleh karena si Amier menempatkan kesengajaan setelah terjadinya perjanjian itu. Sehingga Amier dapat diberi sanksi pidana.

2. Peritiwa hubungan perdata yang masuk kategori unsur tindak pidana penipuan
Tindak pidana penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHPidana pada Bab XXV tentang penipuan atau perbuatan curang.

Adapun bunyi Pasal 378 KUHP, selengkapnya adalah sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Berdasarkan rumusan dan ketentuan pasal 378 KUHPidana tersebut diatas, mengandung unsur-unsur perbuatan penipuan adalah:
1. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
2. Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
3. Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan);

Dalam pasal 378 KUHPidana ini, rumusan delik sesuai dengan corak adanya kesengajaan sebagai maksud. Oleh karena terdapat kata "dengan maksud", maka konsekuensi logisnya adalah bahwa dalam hal suatu perjanjian yang dibuat dengan itikad tidak baik oleh salah satu pihak untuk merugikan orang lain dalam perjanjian itu setelah perjanjian itu terjadi.

Contoh peristiwa hukumnya:
a. Pinjaman modal untuk usaha kemudian digunakan untuk membeli mobil
Terjadinya praktek penyalahgunaan penggunaan uang yang dipinjam namun tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya, dapat juga dituntut dengan tindak pidana penggelapan.

Contoh kasus misalnya, jika kesepakatan awal pinjaman uang antara Amier dengan Badier adalah uang untuk digunakan sebagai modal usaha, namun ternyata Amier menggunakan uang pinjaman dari Badier tersebut untuk membeli mobil pribadi, maka si penerima uang (incasu Amier) yang membeli mobil tersebut dapat dituntut atas dasar dugaan tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHPidana).

b.  Pengurusan izin tidak dilakukan tapi uang tidak dikembalikan
Dalam beberapa kasus peristiwa hukum yang terjadi, suatu kewajiban yang seharusnya dilaksanakan dalam perjanjian tidak berhasil dipenuhi (terlaksana), namun uang pembayaran yang sudah diserahkan tidak dikembalikan kepada si empunya. Bila peristiwa hukum seperti ini terjadi, maka dapat peristiwa hukum ini dapat menjadi perkara dugaan tindak pidana penipuan dan / atau penggelapan (Pasal 372 KUPidana).

Contoh kasus misalnya, apabila Amier adalah pihak yang berjanji akan mengurus suatu izin usaha si Badier, namun hingga waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian, ternyata izin usaha Badier yang dijanjikan Amier tidak kunjung terbit, dan ternyata uang pembayaran izin tersebut tidak dikembalikan Amier, maka hal tersebut sudah dapat diajukan tuntutan dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KHUPidana.

Demikian tulisan kami tentang kasus hubungan keperdataan yang bisa menjadi kasus tindak pidana. Semoga bermanfaat. (NHS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....