29 Februari 2016

Hutang Piutang Perdatakah atau Pidana

Hutang Piutang Perdatakah atau Pidana ~ Mungkin pernah suatu ketika, rekan advokat kedatangan klien yang ingin berkonsultasi tentang apakah bisa wanprestasi dari adanya perbuatan hukum hutang piutang dapat dijadikan kasus tindak pidana?. Atau mungkin, pengalaman praktek advokat yang pernah menemukan permasalahan hukum yang awalnya adalah hubungan keperdataan menjadi pidana? Memang akhir-akhir ini pergeseran adanya pemahaman tentang polemik perbuatan hukum perdata berubah menjadi tindak pidana sudah mulai “meresahkan” banyak pihak, tidak terkecuali dalam hal ini adalah advokat (lawyer/pengacara).


Wanprestasi Akibat Hutang Piutang Perbuatan Hukum Perdata Jadi Tindak Pidana

Tapi, pada kesempatan ini, kami tegaskan bahwa sebenarnya peristiwa hukum berupa wanprestasi akibat adanya hutang piutang tidak bisa dijadikan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan. Karena apabila seseorang tidak melaksanakan kewajibannya untuk melunasi seluruh hutang-hutangnya, maka secara hukum dianya telah melakukan perbuatan hukum berupa cidera janji atau wanprestasi.

Upaya dan sanksi hukum yang dapat dikenakan apbila terjadi hal cidera janji atau wanprestasi sebagaimana disebutkan diatas adalah diatur secara tegas dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.

Tentu saja sebelum seseorang dapat dinyatakan telah melakukan perbuatan cidera janji atau wanprestasi, harus memenuhi unsur atau kriteria yang telah ditetapkan dalam Pasal 1243 KUPerdata, yang pada pokoknya menyatakan: “bahwa seseorang dinyatakan telah melakukan cidera janji atau wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1243 diatas, jelas bahwa sebenarnya perkara wanprestasi akibat adanya perbuatan hukum berupa hutang piutang tidak dapat dijadikan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUPidana). Adapun ketentuan Pasal 378 KuHpidana, menyatakan: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Kalau kita perhatikan dan analisa ketentuan Pasal 378 KUHPidana diatas, jelas bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam perbuatan tindak pidana penipuan adalah: adanya unsur tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Hal ini diperjelas lagi dengan adanya yurisprudensi berupa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1601.K/Pid/1990 tertanggal 26 Juli 1990, yang mengatakan: “unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara atau upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang”.

Selain dasar hukum yurisprudensi di atas, terdapat juga beberapa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang juga menyatakan bahwa hutang piutang tidak dapat dipidanakan, diantaranya:
  • Putusan Nomor Register 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970, yang menyatakan: “sengketa hutang piutang adalah merupakan sengketa perdata”;
  • Putusan Nomor Register 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984;
  • Putusan Nomor Register 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986, yang menyatakan: “sengketa perdata tidak dapat dipidanakan”;
Meskipun demikian, dalam praktek hukum dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 378 KUHPerdata dan yurisprudensi berupa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1601.K/Pid/1990 tertanggal 26 Juli 1990, masih dimungkinkan terjadinya penafsiran kasus perdata jadi pidana di Indonesia, dimana terdapat celah hukum untuk menjadikan wanprestasi hutang piutang dapat dipidanakan asalkan perbuatan tersebut mengandung unsur atau cara atau upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang, yang selanjutnya di interpretasikan dengan: “menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan agar seseorang mau memberikan pinjaman kepadanya, misalnya jika terdapat unsur menggunakan nama, martabat atau jabatan palsu, tipu muslihat atau kebohongan sedari awal dia melakukan pinjaman. Kalau tidak ada unsur ini, maka wanprestasi akibat adanya hutang piutang tidak dapat dianggap atau dikenakan sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHPidana.

Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....