08 Maret 2016

Kekuatan Partai Lokal Aceh Di Pilkada Serentak 2017

Dalam dunia politik Indonesia, kehadiran partai lokal seperti di Provinsi Aceh sudah sangat diperhitungkan, khususnya dalam pertarungan di Pilkada Serentak gelombang tahap dua (II). Sebagaimana yang dilangsir oleh KPU baru-baru ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pemilukada) pada hari Rabu, tanggal 15 Februari 2017 yang akan datang, Provinsi Nanggroh Aceh Darussalam (NAD) merupakan daerah yang paling banyak melakukan atau melaksanakan pilkada, yaitu: untuk pemilihan gubernur, bupati maupun walikota berikut dengan para wakilnya. Walaupun KPU RI belum menetapkan secara resmi melalui "Peraturan Komisi Pemilihan Umum" (PKPU) tentang jadwal tahapan pilkada serentak tahap kedua yang harus dilaksanakan oleh "Komisi Independen Pemilihan" atau KIP Provinsi Aceh dan juga KIP Kabupaten/Kota.

Eksistensi Persaingan Partai Lokal Aceh Dan Nasional Di Pilkada Serentak 15 Februari 2017

Tentu saja, para bakal calon yang akan bertarung di pemilukada 2017 akan berusaha mengambil simpati (meminang) partai-partai lokal yang ada dan eksis di Aceh. Karena itu, bagi para pengurus partai lokal (parlok) di Aceh ini merupakan tantangan yang cukup berat untuk bisa tidaknya mensukseskan pilkada serentak 2017, sekaligus mendudukkan para calon yang diusung atau direkomendasikan oleh partai lokalnya untuk bisa menjadi pemimpin atau kepala daerah untuk masa bakti 5 (lima) tahun kedepan. Dengan kata lain, kami melihat bahwa partai Aceh telah menjadi salah satu poros kekuatan politik lokal di Aceh yang sangat diperhitungkan, serta juga tampaknya akan mendapat tantangan yang cukup berarti di pilkada 15 Februari 2017 nanti.

Kenapa kami mengatakan bahwa partai-partai lokal (parlok) Aceh akan mendapat tantangan yang cukup berat di pemilihan kepala daerah serentak tahap 2? Alasannya, disebabkan dinamika perubahan kekuatan setiap adanya penyelenggaraan pemilu dan atau pilkada akan terjadi perbedaan pendapat dan atau juga dukung mendukung terhadap calon-calon yang akan ikut bertarung di pilkada. Tak hanya pecahnya dukungan massa saja, indikasi terjadi silang pendapat dan atau dukungan yang berbeda-beda dengan kehadiran tokoh-tokoh Aceh yang memilih maju melalui jalur independen, dan juga adanya Partai Nasional Aceh yang digawangi sejumlah mantan tokoh-tokoh partai Aceh, tetapi juga oleh peluang meningkatnya kekuatan partai nasional di provinsi NAD.

Kalau kita kilas balik pada perolehan hasil dari pemilu 2009 yang lalu, dari 6 (enam) partai lokal yang berlaga tercatat hanya 2 (dua) saja partai lokal (parlok) yang lolos pada peserta Pemilu 2014 yang lalu, yaitu Partai Aceh dan Partai Damai Aceh (PDA-sebelumnya bernama Partai Daulat Atjeh). Sementara itu, Partai Nasional Aceh (PNA) merupakan partai lokal baru yang bakal mencalonkan kader-kader mereka di pilkada-pilkada berikutnya di Bumi Serambi Mekkah.

Pada pelaksanaan pemilu 2009 sebelumnya Partai Aceh menjadi kekuatan yang tidak dapat ditandingi oleh partai lokal lain. Partai ini mendapat dukungan terbesar, sekaligus menjadi pemenang Pemilu 2009 di provinsi yang terletak di pucuk barat Indonesia ini. Partai Aceh sukses merebut 46,91 % (persen) dari total keseluruhan perolehan suara sah di seluruh provinsi NAD. Sementara untuk 5 (lima) partai lokal yang lain tidak mampu membuktikan kemampuan mereka untuk merebut suara pemilih rakyat di Aceh. Bahkan, perolehan suara lima partai lokal itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan perolehan suara partai nasional, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tak ada 1 (satu) pun dari lima partai lokal tersebut yang berhasil mengantongi dan atau mengumpulkan suara lebih dari 2 % (persen). Hasil selengkapnya peroleh suara sah 5 (lima) partai lokal di Aceh, adalah sebagai berikut:
  • Partai Daulat Atjeh (PDA) meraih suara sah 1,85 persen;
  • Partai Suara Independen Rakyat Aceh mengumpulkan suara sah 1,78 persen;
  • Partai Rakyat Aceh mendapatkan suara sah sebesar 1,7 persen;
  • Partai Bersatu Atjeh hanya mampu merebut suara 0,77 persen suara
  • Partai Aceh Aman Sejahtera hanya mampu meraih 0,52 persen suara;
Dari hasil pemilu diatas, hanya Partai Aceh dan PDA yang mampu mendudukkan kadernya di lembaga legislatif Aceh. Partai Aceh mendominasi dengan merebut 33 kursi dari total 69 kursi. Sementara PDA hanya mampu mendudukkan satu caleg di kursi DPRD Provinsi Aceh. Di tingkat daerah kabupaten/kota, hanya Partai Aceh yang mampu secara merata menempatkan wakilnya untuk duduk di kursi legislatif. Tak kurang dari 224 kader Partai Aceh menduduki kursi DPRD di 21 kabupaten/kota di Aceh. Sementara PDA hanya mampu menempatkan 12 kadernya di 7 DPRD kabupaten/kota. Dalam catatan, ada 2 kabupaten yang sama sekali belum dipenetrasi oleh partai lokal Aceh, yaitu untuk daerah Subulussalam dan Aceh Singkil.

Pertarungan Menuju Kursi Aceh-1 Pada Pemilihan Gubernur 2017
Belajar dari hasil perolehan suara pada pemilu sebelumnya, potensi suara bagi partai lokal aceh sekitar 50 % (lima puluh persen). Pada pelaksanaan pemilu 2009 yang lalu, hanya 52 persen pemilih di seluruh daerah provinsi NAD yang memberikan suara mereka kepada 6 (enam) partai lokal.

Nah, dengan adanya dinamika politik yang berkembang menjelang pelaksanaan pilgub serentak 2017 mendatang, bukan tidak mungkin akan terbuka kemungkinan popularitas dan juga citra partai lokal turun drastis. Solidaritas dan dominasi kekuatan Partai Aceh pun tampak mendapat ancaman sebagai akibat adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan terjadinya konflik internal antar pimpinan atau pengurus partai yang berujung pada perpecahan kongsi di antara para tokoh dan kader-kadernya.

Salah satu contoh adalah terjadinya konflik internal di tubuh Partai Aceh yang meruncing pada masa menjelang Pemilihan Gubernur Aceh tahun 2012 yang lalu. Gesekan internal yang terjadi bermula pada sekitar bulan Februari 2011, dimana saat itu Partai Aceh merekomendasikan dan atau mendeklarasikan serta mengusung pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai calon gubernur dan wakil gubernur Aceh periode 2012-2017. Adanya penetapan pasangan calon kepala daerah tersebut mendapat tentangan dan silang pendapat dari para pengurus dan perwakilan Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh di tingkat kabupaten/kota. Salah seorang kader partai yang sangat lantam dan keras menolak adalah Ligadinsyah yang sebelumnya dikenal sebagai juru bicara Partai Aceh menolak penetapan Zaini-Muzakir sebagai pasangan calon kepala daerah.

Adanya perpecahan pada tubuh partai Aceh sebagaimana kami kemukakan diatask, oleh para sebahagian kader dan tokoh Partai Aceh yang kecewa kemudian membentuk PNA, dimana partai PNA bisa lolos menjadi salah satu peserta Pemilu pada tahun 2014 yang lalu. Boleh jadi partai ini akan menjadi batu sandungan terbesar bagi Partai Aceh dalam kiprahnya di pilgub serentak gelombang tahap II mendatang. Sejumlah tokoh alumni satria Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya aktif di Partai Aceh juga hijrah dan bergabung ke partai PNA ini.

Dalam adanya virus perpecahan di tubuh partai lokal, seperti pada situasi yang kami jelaskan diatas, segregasi dinamika kekuatan politik di Aceh kelihatannya akan menjadi sedikit lebih sulit dibaca menjelang penyelenggaraan pilkada 2017 mendatang, terutama untuk mengukur dan menganalisis kekuatan Partai Aceh dan PNA yang sama-sama digawangi oleh alumni satria GAM. Jika kekuatan basis massa diukur dari data hasil perolehan suara pada pemilihan gubernur (pilgub) dua tahun yang lalu, dominasi kekuatan Partai Aceh memang masih kelihatan sangat kuat dan berjaya. Namun, kekuatannya sedikit mengendur apabila mengacu pada kekuatan partai aceh di Pemilu 2014 yang lalu bila kita jadikan sebagai tolak ukur masyarakat, untuk menentukan siapa yang menjadi orang nomor satu di bumi Iskandar Muda. Selanjutnya bagaimana di Pilkada 15 Februari 2017? Mari sama-sama kita tunggu.

Tantangan lain yang kelihatan adalah strategi yang akan dilancarkan kompetitor partai lokal (parlok) lain kedepannya, yaitu PDA yang mulai menyususn strategi untuk berupaya melebarkan basis massa dengan mengubah citranya menjadi partai yang lebih terbuka. Citra PDA yang selama ini dikenal sebagai partai para santri mulai merangkul pemilih di luar pesantren (dayah). Fakta lain yang dapat menjadi ganjalan atau tantangan bagi Partai Aceh adalah upaya yang dilakukan oleh partai-partai nasional yang saat ini lebih gencar meningkatkan kinerjanya sebagai salah mesin politik yang sangat efektif menghadapi dan atau menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2017 tahap 2 mendatang. Prospek signifikan terjadinya peningkatan dukungan terhadap partai-partai nasional ini, dapat kita baca dari keberhasilan dan prestasi yang mereka dalam pelaksanaan pemilu tahun 2014 di Aceh.

Memang, dominasi Partai Aceh yang sebelumnya cukup kuat mulai terlihat goyah, apabila kita berkaca dengan melihat hasil pelaksanaan pemilu di Aceh tahun 2014, dan juga hasil perolehan suara sah pada Pemilihan Wali Kota/Wakil Wali Kota 2012 di Kota Banda Aceh, yang mana dimenangi oleh pasangan Alam Mawardy Nurdin dan Illiza Sa'aduddin Djamal yang diusung oleh koalisi Partai Demokrat (PD), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Bertolak dari hasil kemenangan partai nasional juga terjadi di Bener Meriah, Gayo Lues, Singkil, dan Simeulue pada pelaksanaan pilkada tahun 2012 yang lalu. Strategi untuk mengusung tokoh-tokoh yang memiliki tingkat citra atau popularitasnya sangat kuat akan mampu mendongkrak peluang utnuk meraih kemenangan untuk partai nasional di Aceh. Jika teknik dan strategi atau cara sama seperti ini dilakukan oleh mesin partai politik nasional dalam pilkada 2017 di provinsi NAD, bukan tidak mungkin kader-kader dari partai nasional atau koalisi partai nasional dan parlok (partai lokal) non Partai Aceh kemungkinan akan bisa menang di pilkada 2017 mendatang, dan paling tidak akan menyulitkan dominasi yang disandang oleh Partai Aceh. Sangat menarik bukan, untuk sama-sama melihat gebrakan dan partisipasi partai politik di provinsi NAD ini, disebabkan partai lokal akan melawan partai nasional untuk meraih simpati rakyat Aceh.

Semoga bermanfaat dan jangan lupa juga sebagai warga negara agar tetap melakukan pengawasan partisipatif pilkada pilkada serentak tahap II ini supaya berlangsung aman, jujur, adil dan menghasilkan pemimpin kepala daerah yang aman. Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....