10 Mei 2016

Catatan Pinggir Pelaksanaan Dana Desa Berdasarkan UU Desa

Akhir-akhir ini aplikasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), telah dijadikan tranding topik yang cukup hangat dibicarakan baik di media massa maupun di jejaring sosial seperti facebook dan juga twitter. Hal ini menimbulkan beberapa catatan kami, pasca pemberlakuan dari UU Desa ini, karena secara kasat mata ada 2 (dua) topik besar yang mendapat respon beragam dari masyarakat, yaitu tentang dana desa (khususnya tentang para petugas pelaksananya) dan tentang pemilihan langsung kepala desa yang di tahun 2016 ini baru saja dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia.

Advokat Dan Pengacara Medan Alumni Fakultas Hukum UHN Stambuk 1992 Siap Mengawasi Penggunaan Dana Desa

Kalau kita review di tahun 2015, pasca 1 (satu) tahun diberlakukannya UU Desa terkesan seakan-akan telah menjadi “rebutan” yang sedikit banyaknya menimbulkan efek kisruh dan silang sengketa di kalangan stakeholder. Mungkin hal ini disebabkan, UU Desa telah dijadikan sebagai salah satu isu yang sangat besar dan strategis bagi banyak pihak, khususnya bagi para politikus untuk melemparkan “isu politik” tentang desa ini dalam rangka untuk mencari popularitas dan sekaligus juga meningkatkan elektabilitas partai politik dan kadernya, kondisi diataslah menggerakkan kami untuk membuat catatan pinggir ini menjadi sebuah tulisan yang mungkin akan berguna bagi para pembaca yang berkunjung ke website/blog advokat-silaen-associates.blogspot.com yang sangat sederhana dan konsern membahas tentang seputar masalah hukum ini.

Isu lain yang berkembang dan sangat menarik dari adanya implementasi UU Desa adalah terkait dengan adanya lowongan lapangan pekerjaan massal dari adanya pelaksanaan program dana desa. Nah, mengapa bisa begitu menarik untuk dibahas? Hal ini disebabkan, dalam UU Desa secara tegas dan jelas mengamanatkan bahwa desa yang bersangkutan diberi hak dan wewenang untuk mengelolah sendiri anggaran desa yang diberikan atau dikucurkan oleh pemerintah pusat. Disamping itu juga, terkait pelaksanaan dana desa tentu saja akan membutuhkan ribuan orang petugas yang akan bertugas melaksanakan pendampingan dan/atau pengawasan atas penggunaan dana desa yang dimaksud.

Nah, hal-hal diataslah yang sedikit banyaknya telah menciptakan kontroversi dan juga polemik ditengah-tengah masyarakat luas, sehingga di tahun kedua pelaksanaan dana desa sudah mulai dilirik secara serius oleh beberapa partai politik, baik yang duduk di pemerintahan maupun di luar pemerintahan (yang katanya sebagai penyeimbang). Dinamika ini tentu saja dikuatirkan akan menimbulkan “saling sikut-sikutan” untuk bisa mendapatkan andil penting dalam menduduki jabatan tertentu yang berhubungan dengan petugas di lembaga Kementerian Desa.

Tidak hanya jabatan di bawah Menteri saja yang menjadi incaran, namun jabatan Menteri Desa yang kita dijabat oleh kalangan dari anggota parpol, dimana Kemendes sebagai pemilik program juga dikuatirkan akan menjadi rebutan yang sangat serius dari para partai politik, terlebih-lebih dengan adanya isu kebijakan reshuffle kabinet jilid 2 yang sengaja dilontarkan oleh beberapa pihak yang secara khusus melakukan kritik tajam dan pedas terhadap Menteri Desa terkait dengan kinerja Kementerian Desa dalam pelaksanaan 1 tahun pengalokasian dana desa.

Masalah Rekrutmen Pendamping Desa
Kekisruhan dalam dinamika pelaksanaan UU Desa, khususnya dalam program pengkucuran dana desa semakin melebar ditengah-tengah masyarakat, mengingat tentang cara dan mekanisme rekrutmen dan penetapan para petugas yang akan melaksanakan program dana desa pada Kementerian Desa, yaitu sebagai petugas pendamping desa telah menjadi rebutan dan ributan masyarakat, sehingga sedikit banyaknya telah turut andil menambah tugas pada pemerintahan Presiden RI Joko Widodo untuk segera dan secepatnya menyelesaikan permasalahan ini.

Lihat saja, baru-baru ini para petugas mantan PNPM Mandiri yang sebelumnya (periode program tahun 2015) telah dimanfaatkan tenaganya oleh Kementerian Desa (Kemendes) mengadakan aksi unjuk rasa untuk bisa kembali bergabung atau mengabdi dengan petugas yang akan direkrut oleh Kemendes untuk masa program tahun 2016. Sementara dilain pihak, ada pula masyarakat yang mengikuti seleksi perekrutan menolak penetapan mantan PNPM Mandiri yang secara otomatis menjadi petugas pendamping desa tahun 2016 tanpa mengikuti seleksi dari awal seperti yang mereka ikuti.

Memang, kalau kita melihat UU Desa dan juga Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pendamping Desa dinyatakan bahwa => “setiap pendamping diharuskan mengikuti seleksi”. Namun, mantan PNPM Mandiri juga mempunyai dasar dan alasan hukum bahwasanya mereka telah menandatangani dan terikat kontrak kerja dan telah pula menerima Surat Perintah Tugas dari pemerintah (Kemendes) untuk melakukan pendampingan desa. Inilah benang kusut yang belum terselesaikan, sehingga demontrasi dari eks PNPM Mandiri yang dulunya bekerja sebagai pengabdi desa tidak bisa terelakkan lagi. Tapi, terlepas dari kontroversi diatas, perekrutan para calon pengabdi desa ini hendaknya lebih mengutamakan profesionalisme dan kualitas dari orang-orang yang akan direkrut untuk menjadi petugas pendampingan dimaksud.

Tentu saja apabila masalah rekrutmen pendamping desa ini dibiarkan terus, maka dikuatirkan akan bisa mengancam kualitas pelaksanaan program desa kedepannya. Karena bisa saja isu rekrutmen akan dijadikan isu miring untuk menggolkan ambisi kelompok-kelompok tertentu dalam rangka mengendalikan penggunaan dana desa, sehingga tujuan utama dari dikucurkannya dana desa untuk menciptakan desa yang benar-benar mandiri dan lebih sejahtera lagi menjadi “sumir”. Padahal, desa saat ini sedang bergegas untuk mempersiapkan syarat-syarat penting yang dibutuhkan oleh pemerintah pusat untuk bisa mendapatkan program kucuran dana desa.

Memang pada pelaksanaan dana desa tahun 2015 lalu, pemerintah dalam hal ini Kemendes belum menggunakan petugas pendamping desa, namun masalah pengawasan dan pendampingan diberikan wewenangnya kepada lembaga atau instansi yang diberi nama dengan BPMD/Kabupaten yang mana kiprah dalam pelaksanaannya dilapangan terkesan kerap kali tidak memenuhi kebutuhan dasar masyarakat desa. Bahkan, tidak sedikit pula dari pelaksanaan program dana desa (khususnya di daerah Sumatera Utara) ini mendapat protes dan kritik keras dari elemen-elemen masyarakat desa, dikarenakan beberapa programnya tidak sesuai dengan ketentuan, harapan dan bukan merupakan hal-hal yang langsung bersinggungan dengan masyarakat yang berdiam di desa tersebut. Nah, hal inilah yang harus segera diselesaikan agar tidak menimbulkan ganjalan dalam rangka mensejahterakan masyarakat desa. Disamping itu juga, dalam rangka pengawasan pelaksanaan dan juga penggunaan dana desa mari sama-sama kita awasi, tidak terkecuali dalam hal ini para advokat juga bisa mengawasinya agar dana yang diperuntukkan tersebut tidak sampai diselewengkan oleh para oknum petugas pendamping desa.

Sekian tulisan tentang catatan pinggir tentang pelaksanaan dana desa berdasarkan UU tentang desa, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....