22 Juni 2016

Outsourcing Dalam Sistem Hukum Perburuhan Indonesia

Persoalan tenaga kerja outsourcing masih tetap menjadi permasalahan dalam sistem penegakan hukum perburuhan atau ketenagakerjaan di Indonesia, walaupun dalam perkembangan hukumnya pemerintah Indonesia telah menerbitkan sebuah peraturan melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 19 Tahun 2012 terkait masalah pengaturan tentang tenaga kerja outsourcing ini.
Pemberlakuan Sistem Tenaga Kerja Outsourcing Dalam Sistem Peraturan Hukum Perburuhan - Ketenagakerjaan Indonesia
Ada banyak pihak yang mengatakan bahwa lahirnya regulasi outsourcing ini adalah semata-mata untuk menjawab tekanan yang dikumandangkan oleh para pekerja maupun serikat pekerja atau serikat buruh. Kalau kita telaah tentang pengaturan dan atau landasan hukum pengaturan tenaga kerja outsourcing ini, jelas sangat pesimis dalam tataran aplikasi dan implementasinya, dengan asumsi bahwasanya pemerintah dalam praktiknya masih terkesan setengah hati dan tidak berani melawan pengusaha dunia usaha.

Sebagaimana kita ketahui dan lihat bersama, outsourcing merupakan pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (dalam hal ini perusahaan jasa outsourcing) atau memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan kerja perusahaan yang sebelumnya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan. Dengan kata lain, telah terjadi proses pemindahan tanggung jawab tenaga kerja dari perusahaan induk ke perusahaan lain di luar perusahaan induk. Sehingga, kegiatan outsourcing pada hakikatnya adalah merupakan kegiatan pembelian jasa, di mana dalam regulasi ketenagakerjaan mencakup pekerja pada proses pendukung (non-core business unit), ataupun dalam praktiknya semua lini kerja bisa dialihkan sebagai unit outsourcing, seperti yang aplikasinya banyak terjadi dunia kerja di Indonesia.

Sebenarnya, terhadap outsourcing ini ada beberapa larangan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu pekerja/karyawan atau buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Adanya larangan dalam Pasal 66 diatas, juga diperjelas dan dipertegas lagi oleh Permenakertrans pada Bab III Pasal 17 ayat 3 yang menyebutkan bahwa => kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat 20, meliputi:

  • usaha pelayanan kebersihan (cleaning servive);
  • usaha penyediaan makanan bagi pekerja/ buruh (catering);
  • usaha tenaga pengaman (security/ satuan pengamanan);
  • usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan;
  • usaha penyediaan angkutan bagi pekerja atau buruh;
Namun dalam realitasnya, masih banyak terjadi pelanggaran atas ketentuan pasal-pasal yang mengatur syarat-syarat outsourcing terutama terhadap diterapkannya outsourcing pada pekerjaan utama (core business) bukan pekerjaan penunjang sebagaimana diatur dalam hubungan industrial pancasila di dalam hukum ketenagakerjaan yang telah ada.

Hal ini disebabkan klasifikasi terhadap pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang (non-core business), dalam praktik di lapangan jenis pekerjaan yang dapat dikategorikan sebagai pekejaan utama maupun penunjang sangat dinamis dan belum ada standar baku untuk menentukan jenis pekerjaan apa saja dalam suatu perusahaan dapat digolongkan sebagai pekerjaan penunjang atau inti/utama. Sehingga, tidak dapat dipungkiri klasifikasi yang disebutkan oleh ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam praktik masih banyak diabaikan dan tidak dilaksanakan sebab pemahaman pekerjaan penunjang versi perusahaan tidaklah sesederhana yang telah disebut dalam aturan yang berlaku. Disamping itu, muncul persoalan rumit yaitu dalam hal penegakan hukum ketenagakerjaan untuk masalah outsourcing ini, dimana sebelumnya sudah banyak para ahli dan pakar yang memprediksikan akan terjadi keruetan ditingkat pelaksanaannya.

Terbitnya regulasi yang baru-baru ini dilahirkan oleh pemerintah hanya terkesan untuk menenangkan dan meninabobokan gerakan serikat pekerja/buruh dan meredam adanya tuntutan tajam dari serikat pekerja/buruh yang meminta pemerintah segera meniadakan pemberlakukan sistem outsourcing. Padahal sistem ini selain dilindungi undang-undang perburuhan, dalam faktanya sistem outsourcing ini juga adalah keperluan permintaan pasar tenaga kerja, mengingat di berbagai negara maju dan berkembang telah banyak pula yang mempraktikkannya.

Dengan demikian, sangat wajar suatu perusahaan menggunakan sistem ini sebab lebih praktis dan efesien dalam hal manajemennya apabila dibandingkan jika perusahaan tersebut mengurus semua pekerjaan inti dan pendukung di bawah kendali manajemennya sendiri.

Walaupun, secara yuridis formil kedudukan pekerja dengan pengusaha adalah sederajat, harus mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum, namun di dalam kajian sosiologis dan ekonomis hal itu sangat tidak mudah, mengingat selain pengusaha adalah pihak yang memiliki uang namun juga persentasi jumlah kesempatan pekerjaan dan masyarakat atau jumlah tenaga kerja yang memerlukan adanya lowongan pekerjaan tidak pernah seimbang. Hal inilah yang memicu posisi tawar pekerja dalam praktik hubungan kerja menjadi lemah.

Adanya dilematika persoalan penegakan hukum perburuhan terhadap perusahaan yang menggunakan sistem outsourcing juga terkait dengan sikap mendua-dua dari pemerintah kita sendiri yang tidak pernah secara tegas membawa pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan tertentu terhadap aturan outsourcing ini. Padahal, sifat dari hukum ketenagakerjaan sejatinya bisa implementasikan kepada 2 (dua) kategori, yakni:

  1. Pada ranah ketentuan hukum privat, mengingat hubungan kerja mengatur hubungan antara orang perorangan atau orang perseorangan dengan badan hukum;
  2. Pada ranah hukum publik, di mana pemerintah sangat berhak ikut campur tangan langsung dan bagi yang tidak mengindahkannya harus dikenakan sanksi;
Kedua kategori diataslah yang merupakan makna filosofis yang melatarbelakangi diterbitkannya hukum yang mengatur ketenagakerjaan ini tidak lain adalah wujud penghormatan dan pelindungan terhadap hak azasi manusia, baik dalam kapasitasnya  sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha. Sehingga, antara kedua belah pihak tidak saling menzholimi satu sama lainnya.

Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor 19 Tahun 2012 menyebut adanya penegasan tentang perjanjian kerja dalam sistem outsorcing, sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32. Ketentuan ini sebenarnya harus diakui sebagai dasar perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja. Sehingga inkonsistensi secara normatif yang sebelumnya ada pada Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak terjadi lagi.

Jika dalam ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT) didasarkan pada jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu, maka sebenarnya pasal ini tidak konsisten dengan pasal-pasal yang lain yang terkait didalamnya. PKWT yang didasarkan pada jangka waktu tertentu tidak melihat sifat dari pekerjaan, sehingga menimbulkan persoalan bahwa PKWT dapat diterapkan pada pekerjaan yang bersifat tetap.

Bagi pengusaha, sistem PKWT adalah untuk membatasi upah agar berkisar pada skala minimum dan menghindari pesangon yang dianggap sangat membebani perusahaan. Sehingga, dalam praktik banyak pengusaha yang menerapkan PKWT melalui mekanisme kontrak kerja atau outsourcing. Akibatnya dalam fakta dilapangan banyak pengusaha yang melakukan PHK massal terhadap pekerja atau buruhnya, kemudian dialihkan statusnya menjadi PKWT, atau dalam faktanya bisa juga banyak pengusaha yang melakukan PHK massal pekerja/buruhnya kemudian dialihkan statusnya menjadi PKWT, atau merekrut pekerja/buruh baru yang semuanya menggunakan sistem PKWT.

Dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 semua dipertegas dan diperjelas mengenai hak-hak pekerja walaupun hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam bentuk PKWT. Problematikanya adalah bukan lagi pada tataran aturan, namun pada tataran implementasi dan penegakan hukumnya dilapangan. Sebagus apapun produk hukum atau seberapa banyak konsultan hukum perburuhan yang dipergunakan untuk mengambil suatu kebijakan tentang outsourching tersebut diambil dan/atau dibuat, apabila tidak dibarengi dengan keseriusan pihak-pihak yang terkait dalam penegakan dan pelaksanaannya, maka semua itu adalah sia-sia belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....