19 Juli 2016

Moratorium Lahan Perkebunan Sawit Indonesia


Sekitar 950.000 hektar atau tepatnya 948.418,79 ha lahan perkebunan sawit Indonesia, telah di cancel izinnya oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan penerbitkan satu kebijakan terhadap izin pembukaan/penambahan lahan untuk perkebunan sawit, yaitu dengan mengambil kebijakan berupa moratorim atau penundaan pemberian izin pembukaan lahan kebun sawit dalam rangka untuk menjaga stok karbon di kawasan hutan Indonesia.

Kebijakan Moratorim Izin Pembukaan Lahan Perkebunan Sawit Di Indonesia

Tentu saja adanya kebijakan pemerintah ini, merupakan perwujudan rencana moratorium perluasan perkebunan kelapa sawit yang didengungkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sehingga atas adanya kebijakan ini selanjutnya pemerintah akan mendorong peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit yang saat ini tergolong masih rendah untuk meningkatkan produksi nasional.

Adapun sejumlah alasan yang mendasari diambilnya kebijakan melakukan moratorium perkebunan sawit di lahan seluas 950 ribu hektare tersebut, diantaranya adalah => izin di areal tersebut telah diajukan sejak 2011 namun hingga saat ini belum dikerjakan atau dikembangkan menjadi perkebunan oleh perusahaan yang mengajukan sehingga menjadi lahan terlantar. Disamping itu, alasan berikutnya adalah => adanya indikasi bahwasanya lahan dimaksud tidak sesuai dengan tujuan pelepasan dan terjadi tukar menukar, terindikasi dipindahtangankan pada pihak lain, izin sawit existing yang tutupan hutannya masih produktif dan adanya dugaan keras bahwa keberadaan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan.

Terkait jangka waktu pelaksanaan moratorium pembukaan lahan sawit tersebut, berlaku untuk masa selama 5 (lima) tahun, dimana pemerintah akan secara terus menerus melakukan evaluasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut. Karena tujuan utama dilakukannya moratorium adalah untuk perbaikan kebun sawit milik rakyat, dengan melakukan upaya peningkatan produktivitasnya yang saat ini baru sekitara 2 (dua) ton per-hektare menjadi 6 (enam) sampai dengan 7 (tujuh) ton per-hektar.

Selain dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat, moratorium juga dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan penyempurnaan standar ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) agar produk sawit dari kebun rakyat bisa diakui di pasar internasional dan mendapat standar RSPO. Sehingga secara komprehensif, moratorium adalah untuk meningkatkan produksi CPO atau minyak sawit mentah nasional tidak perlu dengan jalan ekspansi perkebunan, namun cukup mengambil langkah-langkah inovatif untuk menaikkan produktivitas tanaman, misalnya lembaga-lembaga penelitian khususnya yang berada di bawah Kementerian Pertanian menyediakan benih berkualitas.

Dengan adanya kebijakan realisasi penundaan izin pembukaan perkebunan sawit, tentu saja harus dipersiapkan payung hukum berupa instruksi presiden (inpres) agar pelaksanaannya dilapangan dapat dikonkritkan. Dengan demikian pengaturan adanya kewajiban khusus pada lingkup eksekutif yaitu instansi pemerintah yang menangani sawit mulai dari instansi yang menangani penerbitan izin pada produksi hulu, lalu lintas perdagangan dan produk turunan/variannya dapat seragam di tiap provinsi, terlebih-lebih dalam hal pembinaan untuk pelaku usaha yang berkaitan dengan sawit di tiap daerah, karena subtansi yang diatur dalam Inpres telah jelas dan tegas, yakni mengenai penundaan izin baru serta evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit dari pelepasan kawasan hutan dalam rangka untuk menjaga stok karbon di kawasan hutan Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....