25 Juli 2016

Potret Wajah Hukum, Peradilan Dan Jasa Bantuan Hukum

Adanya pandangan miring terhadap dunia hukum Indonesia, baik dunia peradilan maupun yang dilakukan para pelaku penegak hukum di Indonesia (baik Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat/Pengacara/Lawyers), telah menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat atas hakikat/kaedah hukum dan keadilan yang sebenarnya. Belum lagi ditambah dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan bila berurusan dengan permasalahan hukum. Sehingga, tidak dapat kita salahkan, tiba-tiba muncul ungkapan yang berbau sindiran seperti: “kalah jadi abu, menang jadi arang” atau “berperkara hanya untuk orang yang berduit”, dsb.

Potret Situasi Hukum, Peradilan dan Kondisi Layanan Jasa Bantuan Hukum fari Pengacara Indonesia

Bila demikian terus, bagaimana tindakan dan sikap kita? Sementara kita hidup tidak terlepas dari aturan-aturan dan norma hukum yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, yang terkadang tanpa sadar sudah kita langgar. Apakah kita harus tetap menghindar untuk tidak berperkara di pengadilan seandainya bila ada hak-hak kita yang dirugikan oleh orang lain? Nah, disinilah sebenarnya sangat dibutuhkan kebijakan atau kearifan seseorang untuk menelaah ataupun mencermati seandainya bila suatu saat nanti mempunyai masalah apa saja dengan orang lain, selesaikanlah dengan itikad baik, musyawarah dan mufakat, damai, ataupun dengan menggunakan alternative dispute resolution (ADR) untuk menghindari adanya tuntutan lanjutan di kemudian hari.

Nah, bagi anda yang sudah sampai pada keputusan terakhir untuk menempuh jalur hukum ke sidang pengadilan, tentu saja harus berperkaralah dengan baik-baik, hati-hati dan jangan mengikuti arus mafia peradilan (misalnya dengan melakukan perbuatan yang tidak benar dengan menyogok hakim, jaksa, polisi, panitera/sekretaris/pegawai pengadilan, saksi-saksi dan atau menciptakan bukti-bukti surat baru atau menghalalkan segala cara dan upaya agar menang berperkara. Intinya, agar hati-hati dan waspada dengan tetap mempertimbangkan seluruh aspek yang berhubungan erat dengan seluk beluk yang ada di pengadilan Indonesia, misalnya aspek proses/acara yang berlaku di pengadilan dan biaya-biaya yang timbul nantinya untuk perkara tersebut.

Secara umum, perkara atau kasus yang dimohonkan untuk diselesaikan melalui pengadilan negeri (PN) ada 2 (dua) jenis, yaitu: perkara/kasus yang menyangkut hukum perdata dan hukum pidana. Perkara perdata maksudnya adalah perkara yang timbul antara diri kita dengan pihak lain, misalnya saja masalah hutang piutang, pinjam meminjam, sewa menyewa, jual beli tanah dan rumah, jual beli mobil atau sepeda motor, masalah yang menyangkut dengan pembagian warisan, masalah wan prestasi atau ingkar janji atas perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, pada pokoknya perkara perdata adalah menyangkut antara perorangan dengan perorangan ataupun badan hukum, bukan dengan negara ataupun pejabat tata usaha negara. Sedangkan perkara/kasus pidana maksudnya adalah perkara yang timbul akibat adanya perbuatan salah atau tidak benar yang kita lakukan dan dilarang oleh hukum negara, sehingga harus mendapat sanksi dari negara (misalnya perampasan kebebasan kita dalam kurun waktu tertentu, ganti kerugian yang harus kita berikan kepada negara, dsb).

Namun, pada tulisan ini fokus pembahasannya adalah menyangkut tentang perkara perdata. Perkara perdata berarti kita akan menggugat seseorang yang menjadi lawan kita atau bisa saja orang lain yang menggugat kita, atau dengan kata lain kita yang digugat orang lain. Secara umum, menggugat dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan menuntut sesuatu hak dan sebaliknya arti dan pengertian digugat berarti kita dituntut untuk memberikan hak atau memberikan sesuatu kewajiban kepada orang yang menuntutnya. Kalau dalam bahasa hukum, yang menuntut disebut dengan penggugat dan yang dituntut disebut dengan tergugat atau bisa juga disebut dengan para pihak yang berperkara.

Para pihak dalam perkara perdata, bisa saja menghadapinya sendiri (sering disebut dengan pihak inperson) atau bisa juga diwakili dengan menghunjuk kuasa hukumnya, baik seseorang maupun beberapa orang pengacara. Istilah pengacara ini adalah persamaan dari advokat, lawyer. Sementara konsultan hukum belum tentu berprofesi sebagai pengacara, advokat atau lawyer, sedangkan pengacara/advokat/lawyer sudah pasti dapat dikatakan sebagai konsultan hukum ataupun penasihat hukum. Namun pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang ADVOKAT, maka secara hukum istilah penggunaan kata pengacara, lawyer sudah dileburkan menjadi ADVOKAT.

Dengan kata lain, yang bisa menjadi wakil para pihak yang sedang berperkara untuk beracara di depan sidang pengadilan adalah orang-orang yang telah memiliki ijin praktek sebagai advokat sebagaimana pengaturan pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam UU No. 18/2003 tentang advokat. Kalau tidak memiliki ijin praktik sebagai advokat, maka hakim yang memimpin sidang dapat seketika itu juga mengeluarkan wakil/kuasa hukum yang bersangkutan dari ruang sidang.

Banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum kita mengambil suatu keputusan untuk menggugat seseorang, dimana harus dipersiapkan 1 (satu) buah surat permohonan gugatan (bila tidak bisa baca tulis, maka gugatan tersebut bisa dalam bentuk lisan yang nantinya akan dicatat langsung oleh panitera pengadilan). Nah dalam rangka membuat gugatan inilah sangat dibutuhkan jasa bantuan hukum dari seorang advokat/pengacara/lawyers. Karena surat gugatan dalam perkara perdata bukanlah seperti surat biasa, tetapi ada hal-hal atau formula tertentu yang harus dimaksukkan ke dalam surat gugatan tersebut, seperti identitas diri kita sebagai penggugat dan identitas siapa yang akan digugat, apa yang menjadi obyek sengketa dalam gugatan, apa yang menjadi dalil, alasan atau dasar kita menggugat, apa yang kita minta kepada pengadilan atau hakim yang sedang memeriksa untuk memutuskannya. Dimana hal-hal ini adalah merupakan rutinitas yang sehari-hari yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi sebagai pengacara, termaksud langkah-langkah hukum selanjutnya sesuai dengan hal yang telah diatur dan dibenarkan dalam hukum acara perdata, misalnya memberikan tanggapan atau jawaban tergugat atas gugatan, replik dan duplik, menyiapkan dan mengumpulkan bukti surat maupun saksi-saksi, meminta atau mengajukan pertanyaan kepada saksi-saksi yang dihadirkan pada sidang pengadilan, membuat kesimpulan atau konklusi, hingga bila dianggap perlu mengajukan memori banding dan atau kontra memori banding ke Pengadilan Tinggi ataupun memori kasasi dan atau kontra memori kasasi ke Mahkamah Agung RI bila tetap merasa tidak puas atas putusan pengadilan yang ada.

Persoalannya adalah bagaimana caranya memilih pengacara handal, mahir dan profesional, karena hal ini menyangkut terhadap hak kita yang telah dirugikan orang lain dan tentunya saja berhubungan dengan biaya-biaya atau tarif untuk menyewa atau bagaimana metode cara membayar jasa pengacara (apakah bayarannya disebut dengan namanya upah, honor, gaji, fee ataupun succes fee) yang dalam hal ini adalah bertugas untuk mewakili kepentingan hukum kita dalam perkara (apakah nantinya perkara tersebut menyangkut sengketa perdata maupun menjadi penasihat hukum yang akan mendampingi didalam kasus yang berhubungan dengan tindak pidana). Kadang sewaktu kita (sebagai klien) meminta bantuan dari seorang advokat untuk mendampingi kita sebagai kliennya, maka diwajibkan terlebih dahulu untuk membayar uang administrasi bisa mulai dari Rp 100 ribu dan bahkan bisa mencapai Rp 10 juta. Kemudian setiap kali sidang, para klien juga membayar biaya-biaya transportasi ataupun akomodasi pengacara yang bersangkutan, demikian juga setiap membuat surat gugatan atau jawaban atas gugatan, mengumpulkan barang bukti, mendatangi saksi-saksi, mengambil putusan, membuat memori banding atau kasasi ataupun kontra memori yang diperlukan untuk itu, tetap membayar lagi dan membayar lagi. Kalau dijumlahkan seluruhnya bisa mencapai puluhan juta, ratusan juta dan bahkan bisa sampai milyaran rupiah. Kalau menang dan sukses, masih harus membayar lagi yang namanya “succes fee” atau bagi hasil dari perkara tersebut kepada pengacara yang dipakai.

Memang semuanya tergantung kesepakatan diawal antara kita (sebagai klien) dengan para pengacara yang dipakai, karena metode atau cara pembayaran bisa saja berbeda-beda antara satu kantor pengacara dengan kantar jasa pengacara lainnya. Namun, biasanya adalah mempertimbangkan besar kecilnya perkara (dipandang dari nilai obyek materi yang diperkarakan), kemudian tingkat kesulitan atau kerumitan dari perkara perdata yang bersangkutan untuk bisa dimenangkan, dan juga tergantung dari bobot, bibit dan bebet nama pengacara itu sendiri. Biasanya, kecenderungan semakin terkenal atau ngetopnya nama seorang pengacara, maka semakin tinggi/besar pula bayaran yang akan diminta oleh advokat dimaksud. Walaupun pada hakekatnya seorang advokat yang meminta bayaran tinggi belum pasti hebat, terbaik, ahli atau pakar dan memiliki kemampuan tinggi untuk menyelesaikan perkara perdata yang ada. Jadi, ingat agar selalu berhati-hati.

Tentu enak juga jadi pengacara ya. Ya, memang profesi pengacara atau advokat hidupnya dari membantu para kliennya untuk memenangkan atau mempertahankannya dan untuk melakukan hal tersebutlah sang pengacara tersebut harus dibayar, meskipun ada juga pengacara yang mau membantu kliennya tanpa terlebih dahulu meminta bayaran. Ataupun ada juga penggunaan sistem pembayaran fee untuk pengacara tersebut tidak sama, seperti yang telah kami jelaskan diatas. Atau bahkan ada juga pengacara yang mau mengeluarkan uangnya terlebih dahulu untuk menyelesaikan kasus kliennya yang dianggap atau dikategorikan sebagai “kasus kakap” atau “kasus besar”, sehingga diprediksikan dapat mengangkat nama besar si pengacara menjadi lebih baik lagi dan semakin populer atau terkenal.

Pastinya, ketika kita akan menggugat maka terlebih dahulu harus membuat gugatan, mendaftarkan gugatan tersebut kepada kepaniteraan perdata di Pengadilan Negeri tempat dimana nantinya perkara kita itu disidangkan (sesuai dengan lokasi atau domisili obyek perkara). Dan untuk melaksanakan hal-hal ini, kita harus membayar sejumlah uang kepada panitera pengadlan tersebut sebagai biaya-biaya resmi untuk pendaftaran perkara (yang sering disebut dengan SKUM = Surat Keterangan Untuk Membayar, dimana apa bila nantinya dianggap masih kurang maka akan diminta lagi kepada pihak penggugat, dan seandainya berlebih akan dikembalikan). Besarnya jumlah biaya perkara ini akan disebutkan dalam putusan pengadilan pada saat kasus tersebut diputuskan, hal mana juga berlaku pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Namun, sangat penting kita ingat bahwa ketika membayar biaya-biaya tersebut saat pendaftaran gugatan atau perkara tersebut adalah didasarkan pada perkiraan besarnya biaya-biaya administrasi, pemanggilan bagi para pihak baik penggugat maupun tergugat untuk datang menghadiri sidang dan biaya-biaya resmi lainnya ada di pengadilan. Pada prinsipnya, berapa biaya yang akan kita bayar untuk keperluan pendaftaran gugatan di pengadilan akan dibuatkan kuitansi tanda bukti pembayaran.

Setelah gugatan dimaksud resmi terdaftar, surat gugatan terlebih dahulu akan dipelajari pengadilan, dibentuklah atau ditunjuklah majelis hakim dan panitera pengganti (dalam hal ini biasanya 3 (tiga) orang hakim dan 1 (satu) orang panitera pengganti) yang akan bertugas untuk memeriksa kasus perdata tersebut, kemudian surat panggilan sidang berikut 1 (satu) helai gugatan akan dikirimkan panitera melalui juru sita pengganti kepada para pihak yang menjadi tergugat, maka pada tanggal yang telah ditentukan dalam surat panggilan tersebut akan dilaksanakan atau digelar sidang.

Kemudian sidang mulai berjalan, biasanya jadwal persidangan adalah 1 (satu) kali seminggu, namun terlebih dahulu akan diadakan mediasi, penggugat membacakan isi gugatannya, kemudian minggu depannya tergugat jawaban atau eksepsinya, berikutnya penggugat mengajukan replik yang kemudian seminggu kemudian dibalas dengan duplik dari tergugat. Bila telah selesai, selanjutnya penggugat akan mengajukan bukti-bukti surat dan atau juga menghadirkan saksi-saksi, demikian juga kepada tergugat akan diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti surat dan saksi setelah selesai dari penggugat. Habis itu, penggugat dan juga tergugat mengajukan konklusi atau kesimpulannya atas kasus/perkara perdata tersebut, kemudian terakhir majelis hakim akan mengambil keputusan dan membacakan putusan tersebut. Kalau kita hitung waktu proses gugatan perdata ini, paling cepat waktunya adalah 4 (tiga) bulan baru ada putusan dari hakim Pengadilan Negeri, nah kalau kita hitung berapa biaya yang akan dikeluarkan, ya silahkan hitung sendiri.

Pada prinsipnya dalam perkara perdata, setiap kali akan dimulainya sidang maka hakim akan memberikan kesempatan dengan menayakan kepada masing-masing pihak untuk mengutamakan perdamaian, bila ingin berdamai maka silahkan berdamai. Bila perdamaian ini tercapai, maka sidang akan dihentikan dalam artian yang menjadi putusan hukum (vonis) adalah hasil perdamaian dimaksud, dan jika tidak tercapai kesepakatan damai, maka tidak ada kata lain sidangpun akan dilanjutkan terus sampai nanti hakim akan memberikan keputusan (vonis). Bila tetap masih belum puas juga dapat selanjutnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan dalam kurun waktu 3, 4, 5 atau 6 bulanan dan atau mungkin bahkan dalam setahun atau dua tahun baru turunlah putusan banding dari Pengadilan Tinggi (PT). Bila masih juga tidak merasa puas atas putusan Pengadilan Tinggi (PT) ini, masih dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di Jakarta dan masih menunggu 1, 2, 3 tahun dan bahkan bisa sampai 5, 6 atau puluhan tahun baru kemudian keluar putusan dari para hakim agung ini.

Tentu saja, atas semua proses-proses hukum diatas adalah dengan harus mengeluarkan biaya-biaya perkara yang tidak sedikit untuk itu, kalaupun seandainya memperkarakan sebidang tanah berikut dengan bangunan rumah yang ada diatasnya seharga Rp 300 juta, mungkin biaya yang dihabiskan untuk memperkarakannya mencapai Rp 100 juta atau bahkan bisa lebih dan mendekati angka Rp 150 juta. Karena memang tidak terasa apabila kita mengeluarkan biaya Rp 100 ribu, Rp 250 ribu, Rp 500 ribu, Rp 1 juta, Rp 5 juta, Rp 10 juta dan seterusnya, hingga kalau ditotal tidak terasa sudah berjumlah ratusan juta rupiah.

Apalagi jikalau perkara kita mengalami kekalahan, sehingga secara spontan keluar umpatan “yang beginilah, yang begitulah” atau juga keluar ungkapan “memperkarakan kerugian 2 ekor sapi, hilang 1 ekor sapi lagi”, dan bla bla bla. Hal inilah yang menjadi pikiran dan tugas kita bersama untuk memperbaiki sistem peradilan kita agar menjadi sederhana, cepat dan biaya yang ringan atau murah seperti yang idealnya terjadi dan diamanatkan dalam hukum acara perdata yang diberlakukan di Indonesia. Paling tidak kita mulai dari diri kita sendiri untuk mengontrol perilaku kotor terlebih-lebih dalam hal mengontrol setiap keputusan yang bertentangan dengan kaidah hukum dan kepatutan-kepatutan hukum yang diambil oleh lembaga hukum dan peradilan terhadap suatu perkara yang ada, dengan begitu secara perlahan-lahan akan tercipta etika untuk secara bersama-sama memperbaiki potret atau wajah hukum, peradilan atau pengadilan dan jasa bantuan hukum di Indonesia. Semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....