02 November 2016

Hak Politik Kader Partai Di Indonesia

Perkembangan dan keberadaan partai politik (parpol) di Indonesia, tidak terlepas dari kehadiran kader partai politik sebagai salah satu “mesin” yang menggerakan roda-roda organisasi partai. Namun, kecenderungan akhir-akhir disaat daerah sedang bereuforia dan penuh semangat maupun kegembiraan menyambut pesta demokrasi melalui penyelenggaraan pilkada (pemilihan kepala daerah) baik gubernur, bupati dan walikota untuk periode 5 (lima) tahun mendatang, banyak menyisakan kekecewaan bagi para kader partai politik maupun anggota kader parpol.

Pengacara dan Lawyer Top Kader Partai Politik - Parpol di Pemilu - Pilkada Indonesia

Memang dalam alam demokrasi pilkada atau pemilu di Indonesia, partai politik (parpol) mempunyai hak konstitusi dan atau legal standing mengusulkan nama seseorang untuk ikut dalam perhelatan pilkada/pemilu. Karena begitu strategisnya peran dan kehadiran partai politik (parpol) dalam sistem demokrasi dan juga pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan banyak putra putri terbaik Nusantara yang ikut terjun ke dalam partai politik (parpol), apakah menjadi anggota, pengurus partai, dan lain sebagainya dengan harapan nantinya dapat menduduki jabatan-jabatan strategis di internal maupun eksternal partai.

Namun, kehadiran partai politik (parpol) tersebut justru telah menciptakan kekecewaan terhadap beberapa orang kader terbaiknya, misalnya kader terbaik tersebut tidak direkomendasikan atau disetujui untuk menjadi salah satu bakal calon gubernur, bupati dan walikota atupun untuk menjadi wakil gubernur, wakil bupati dan wakil walikota yang akan bertarung di pilkada, misalnya pilkada tapteng 2017. Tidak adilkah? Dan fenomena apakah yang terjadi dalam tubuh partai politik (parpol) tersebut? Atau apakah kriteria-kriteria yang harus dipenuhi para kader agar dapat direkomendasikan dan atau disetujui oleh partai politik (parpol)-nya?

Kalau dikilas balik (review) pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia, maka sejak pemilu pertama sekali dilaksanakan pada tahun 1955 hingga penghujung tahun 2016 ini, banyak problematika yang terdengar dan terjadi bahwasanya sangat kurang keberpihakan “politik nasional” yang berpihak kepada para kader partai politik. Adanya fenomena ini dapat ditelisik dari pasal demi pasal yang terdapat dalam rancangan undang-undang (RUU) pemilu yang dibuat oleh pemerintah yang saat ini sedang digodok pembahasannya. Dengan kata lain, realitas keberadaan kader politik (khususnya partisipasi parpol di pilkada), sangat kasat mata terlihat tidak memiliki jaminan dan atau tempat yang layak ataupun jelas untuk mendapatkan hak politik, padahal selama ini kader-kader partailah yang berjuang mati-matian menjalankan kerja-kerja partai demi mencapai tujuan, visi dan misi serta perjuangan pendirian partai politik sesuai dengan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART). Miris memang, tapi itulah “pil pahit” yang harus ditelan bulat-bulat oleh para anggota dan atau juga para kader yang terdaftar di organisasi partai.

Dalam penalaran sistem kaderisasi dan perekrutan terkait anggota partai politik, sangat wajar muncul berbagai pendapat bahwasanya kader partai politiklah yang menjadi ujung tombak dan tulang punggung organisasi partai politik (parpol). Ujung tombak dan tulang punggung organisasi parpol, pemaknaannya adalah sebagai produk perkaderan dan bentuk pengabdian yang berjalan secara terus menerus, berkesinambungan dan sistematis sampai seorang anggota (kader) partai politik mampu mengemban kerja-kerja organisasi dan menjalankankan seluruh aktivitas keorganisasian.

Hak dan Kewajiban Kader Partai
Hak dan kewajiban yang melekat pada diri seorang kader sebenarnya telah tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) maupun didalam petunjuk-petunjuk teknis yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Bisa saja, hak dan kewajiban antara partai yang satu dengan partai yang lain berbeda. Namun, bila kita ingin mengetahui dan atau melihat para kadernya, cukup dengan mengamati pergerakan anggota aktif di dalam tubuh partai tersebut.

Nah, karena sudah sangat jelasnya ada hak dan kewajiban yang harus ditanggung oleh para kader, maka seyogianya penalaran kita wajar menilai bahwa kader mempunyai hak didahulukan untuk mendapat ruang-ruang politik di internal partai, posisi strategis, dan juga kesempatan-kesempatan dalam pendistribusian partai di ranah partisipasi politik untuk menduduki kursi pemerintahan atau menjadi kepala daerah. Dengan kata lain, kader berhak untuk mendapatkan prioritas utama ketika partai hendak menyusun nama-nama anggota untuk dapat menjadi pejabat, baik di tubuh internal partai maupun di eksternal partai.

Dalam sistem organisasi yang baik dan profesional, hak merupakan perwujudan dari hasil bekerja dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan petunjuk-petunjuk teknis organisasi partai. Oleh karena itu, kader partai berkewajiban untuk menjalankan perintah organisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kewajiban inilah yang kemudian melekat secara utuh dan tidak dapat dipisahkan antara kehidupan personal dan anggota organisasi partai.

Namun ada gium yang berkembang dalam dunia politik di Indonesia, bahwa “tidak ada teman yang abadi”, “tidak ada musuh yang hakiki”, “semua hanya kepentingan” dan atau “main politik itu membutuhkan biaya besar”, dlsb. Adanya pendapat yang berkembang diatas, menjadikan partai politik (parpol) kecenderungannya terlihat tidak memperdulikan para kader dalam pendistribusian keluar organisasi. Kader cenderung hanya mendapatkan posisi ada pembagian jatah kekuasaan ditubuh internal partai. Sehingga kondisi ini mengakibakan para kader menjadi "sapi perahan” untuk menjalankan organisasi tanpa adanya jaminan memperoleh kepastian diakomodasikan atau direkomendasikan untuk berpartisipasi dalam menduduki jabatan dalam pemerintah, misalnya menjadi gubernur, bupati dan walikota ataupun menjadi wakilnya.

Dalam peraturan perundang-undangan kepemiluan Indonesia (baik pemilihan presiden/pilpres, pemilihan legislatif/pileg, dan pemilihan kepala daerah/pilkada) tidak ada 1 (satu) pasal-pun yang bisa dijadikan sebagai dasar hukum yang dapat digunakan untuk memberikan hak atas kerja-kerja dan prestasi-prestasi yang telah diraih oleh para kadernya. Hal mana terlihat jelas dari syarat pencalonan yang secara umum diberlakukan hanya dinyatakan dalam bentuk kata “terdaftar sebagai anggota”. Adanya frase terdaftar sebagai anggota adalah bentuk yang terlihat nyata tentang ketidakpedulian politisi terhadap “tongkat estafet” kepemimpinan yang berbasis pada kaderisasi anggota partai. Alat bukti dokumen pun, hanya perlu melampirkan foto copy kartu tanda anggota (KTA) partai politik.

Memang dinamika yang berkembang dalam partai, anggota partai bisa bukan merupakan kader partai, akan tetapi kader partai sudah jelas sebagai anggota partai. Mengapa? Karena logikanya, anggota partai dipahami sebagai seseorang yang terdaftar di partai (sering disebut dengan anggota pasif), sedangkan kader partai adalah anggota partai yang menjalankan kerja-kerja atau program-program partai. Oleh sebab itu, persyaratan untuk menjadi presiden, wakil presiden, menteri, anggota legislatif dan kepala daerah seharusnya memuat kata-kata “kader partai” dengan mencantumkan penjelasannya pada lembar penjelasan UU tersebut. Akibat adanya ketentuan kader partai, maka dokumen persyaratan berbentuk lembar-lembar bukti kaderisasi dan kegiatan pengabdian sebagai kader haruslah pula dicantumkan.

Dengan adanya kata kader partai, juga mengakibatkan tidak ada alasan partai untuk mengakomodasikan “orang baru” atau yang berasal dari luar partai di setiap kontestasi pemilu atau pilkada yang diselenggarakan di Indonesia. Karena banyak beranggapan akomodasi yang diberikan oleh para pengusaha, pemodal, atau keluarga pejabat partailah yang selama ini dinilai telah merusak tataran dan tatanan politik nasional. Di lain pihak, pilihan adanya kata “seleksi secara demokratis” terendus oleh tangan-tangan sang penguasa partai. Pemaknaan pemilihan demokratis sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik telah dipahami tertutup sebagai bentuk “hak preogratif” penguasa partai untuk mengambil kebijakan menentukan siapa-siapa yang berhak dalam pendistribusian anggota yang akan ikut berpesta dalam kontestasi demokrasi rakyat.

Kondisi realita diatas, menimbulkan harapan agar kiranya rancangan undang-undang (RUU) tentang pemilu perlu memastikan nasib para kader partai. RUU pemilu yang telah diajukan dan diserahkan oleh pemerintah kepada legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, masih enggan untuk memuat frasa kader partai dan lebih memilih frasa terdaftar sebagai anggota partai.

Mengingat RUU Pemilu dapat disahkan menjadi Undang-Undang atas adanya kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif, sangat diharapkan wakil rakyat yang saat ini duduk di senayan menggunakan hak legislasinya untuk merevisi dan mengubah kata terdaftar sebagai anggota partai dengan frasa menjadi kader partai politik, yang kemudian diikuti dengan adanya penjelasan kata kader ini dalam lampiran UU dengan memuat ketentuan khusus berupa adanya kartu tanda anggota, sertifikasi perkaderan (pernah mendapatkan pendidikan politik), jenjang pengabdian di tubuh internal partai, adanya penilaian pengabdian dengan tambahan surat keputusan (SK) pucuk pimpinan partai, terkait dasar pemilihan nama-nama bakal calon (balon) yang akan diusung atau disetujui partai politik (parpol) baik pada pelaksanaan pilpres, pileg maupun pilkada yang saat ini berlangsung pada berbagai daerah di Indonesia. Mudah-mudahan dapat terwujud, agar para anggota dan juga kader partai politik terus bekerja yang terbaik untuk meraih prestasi-prestasi gemilang dalam berorganisasi. (Silaen Lawyer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No Link Aktif, Harap Maklum BOSS.....